Kita sering mendengar maupun membaca artikel dan berita mengenai adanya indikasi fraud atau kecurangan/penyimpangan pada suatu perusahaan atau instansi pemerintah yang dilakukan oleh karyawan/pegawainya. Maraknya berita mengenai investigasi terhadap indikasi penyimpangan fraud) di dalam perusahaan dan juga pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin membuat sadar bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Walaupun saat ini sorotan utama sering terjadi pada manajemen puncak perusahaan, atau terlebih lagi terhadap pejabat tinggi suatu instansi, namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan kerja organisasi.
Upaya penegakan hukum terhadap tindakan fraud selama ini kurang membawa hasil. Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan secara keseluruhan belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang signifikan. Efektivitas ketentuan hukum tidak dapat dicapai apabila tidak didukung norma dan nilai etika dari pihak terkait. Dalam konteks suatu organisasi, nilai etika dan moral perorangan harus muncul sebagai aturan etika organisasi yang telah terkodifikasi sebagai kode etik dan kelengkapannya.
Fraud (kecurangan) itu sendiri secara umum merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain. Orang awam seringkali mengasumsikan secara sempit bahwa fraud sebagai tindak pidana atau perbuatan korupsi.
Contoh Kasus:
MOL, MAJALENGKA - Sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) diduga berbuat curang dalam mengisikan bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat selaku konsumen pengguna BBM.
Berdasarkan hasil inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen (YLBK) Majalengka di sejumlah SPBU di Majalengka, terdapat beberapa indikasi kecurangan.
Sekretaris Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen Majalengka Rakisa saat melakukan sidak di beberapa SPBU, Kamis (18/8/2011), menegaskan dari hasil dua pengukuran takaran dan densitas SPBU jenis premium dan bio solar, ditemukan ambang batas toleransi yang melebihi ketentuan 60 mililiter untuk SPBU Pasti Pas dan 100 mililiter SPBU biasa di sampel pompa bensin beberapa SPBU.
Dijelaskannya, untuk takaran, dari tiga kali hasil pengukuran bejana ukur 20 liter, hanya muncul angka rata-rata 16,0 hingga 17,3 liter saja. Padahal, lanjutnya, semestinya jika alat pompa bensin berfungsi dengan baik dan maka munculnya angka ambang batas toleransi berada di kisaran 19,5 liter. Bahkan, lebih baik lagi jika menunjukkan angka pas 20 liter.
"Dengan kata lain, jika konsumen membeli BBM dengan kuantitas 2 liter, maka BBM yang dikeluarkan dari mesin pompa bensin hanya memiliki volume rata-rata 1,6 hingga 1,7 liter saja. Dengan kata lain, konsumen hanya mendapatkan 80 hingga 85 persen haknya dari yang seharusnya mendapatkan 100 persen hak konsumen," ujarnya.
Kondisi ini, lanjutnya, jelas cukup merugikan konsumen yang berharap mendapatkan pelayanan prima dari pertamina melalui SPBU sebagai ujung tombak penjual produk-produknya yang menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat yakni premium dan solar.
Pengukuran lainnya, yakni pengukuran densitas atau pengukuran kadar kandungan BBM murni di sampel pompa bensin beberapa SPBU, muncul perubahan angka perbendaan densitas yang agak berbeda dari densitas yang dikeluarkan Pertamina saat melakukan delivery oreder (DO).
Akan tetapi, tambahnya, untuk perbedaan angka densitas yang agak berbeda ini masih dapat ditolelir karena biasanya disebabkan penguapan suhu dan pengendapan di tangki penampungan SPBU.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada para pengelola SPBU agar bisa memperbaiki takaran SPBU di mesin-mesin pompa bensin yang terbukti didapati kecurangan takaran pengisian BBM.
Analisis:
Dari kasus di atas, dapat diketahui bahwa sejumlah SPBU di Majalengka melakukan kecurangan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Tentu saja hal ini sangat disayangkan karena SPBU tersebut telah melanggar etika bisnis dan merugikan masyarakan selaku konsumen pengguna BBM. SPBU tersebut harus mendapat teguran dan melakukan perbaikan takaran pengisian BBM agar tidak ada lagi masyarakat yang dirugikan.